Saat menulis opini ini, perasaan
saya berkecamuk. Jadi mohon maaf jika ada yang kurang sependapat dengan tulisan
ini. Saya seorang mahasiswa gizi yang diajarkan menganalisis kondisi pangan di
suatu daerah di Indonesia. Apakah sudah berdaulat atau masih rawan pangan.
Kebetulan saya mendapatkan daerah DKI Jakarta. Mulailah saya belajar tentang
cadangan pangannya seperti apa, ketersediaannya seperti apa, bagaimana NBM
(Neraca bahan Makanan) & Skor PPH nya. Oya sedikit menjelaskan, melalui NBM
ini kita dapat mengetahui situasi ketersediaan pangan di suatu wilayah dan skor
PPH dapat menunjukkan keragaman produksi pangan. Kemudian timbul ide dalam otak
saya saat itu, kenapa tak mencoba menganalisis keadaan pangan di wilayah
MADURA. Saat itu rasanya excited banget.
Mulailah saya mencari-cari data NBM ke teman-teman yang mendapatkan data
wilayah Jawa Timur. Dan tau apa hasilnya?? Mereka bilang madura tak ada, yang
ada hanya gresik, pasuruan dan kota-kota lain di Jawa timur. Harusnya, data
pangan tentang Madura ada. Harusnya, karena mereka mendapatkan data tersebut
dari badan ketahanan pangan provinsi Jawa timur (melalui web). Dalam hati saya
bergumam, “okee tak mendapatkan disitu,
mungkin saya bisa mencari sendiri”. Saya mulai mengotak-atik google,
berselancar mencari info pangan di Madura. Tau hasilnya?? NOTHING. Saya yang
kurang mencari atau memang informasi itu tidak diposting??. Saat itu saya
seketika lemas di depan laptop. Saya, keturunan asli daerah Madura, bahkan tak
tau bagaimana kondisi pangan diwilayah saya sendiri. Saya, putri asli daerah
Madura, bahkan tak bisa menganalisis pangan di daerahnya sendiri. Sedih ketika
harus menganalisis ketahanan pangan di daerah lain, sedih ketika ilmu yang saya
dapat belum bisa saya aplikasikan untuk daerah saya tercinta. Asal kalian tau
saja, saya menganalisis kondisi pangan di jakarta, tidak hanya menganalisis
untuk tahun ini tetapi saya juga memproyeksikan pada tahun berapa Jakarta akan
mencapai skor SPM (standar pelayanan minimal) yang itu artiya berdaulat pangan.
Bahan pangan apa saja yang perlu ditingkatkan dan dikurangi. Bagaimana
kecukupan energi dan proteinnya, sehingga saya bisa mengetahui apakah jakarta
mengalami gizi buruk atau gizi lebih. Dan saya tidak bisa menerapkan itu semua
ke daerah yang benar-benar saya cintai. Saya tak menyalahkan BKP daerah madura,
saya juga tak menyalahkan dinas-dinas terkait disana. Saya disini hanya sedikit
melampiaskan emosi saya, ketika saya sudah mempunyai ilmu yang dapat membantu
pemerintah Madura dalam bidang pangan, rasanya....... ah sudahlah. Daripada
mengutuk kegelapan lebih baik menyalakan lilin.
Yang perlu kalian ketahui disini, wahai putra-putra terbaik Madura bahwa
soal pangan,
kita harus serius menangani dan mengelolanya. Pangan adalah prasyarat
kehidupan yang harus kita jaga ketersediaannya. Oleh karena itu, menjadi sangat
tepat jika dalam Undang Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, telah
diamanatkan betapa pentingnya kita mewujudkan ketahanan, kemandirian dan
kedaulatan pangan. Melalui "madhab"
perpanganan itulah kita dituntut untuk dapat menyelenggarakan manajemen pangan
yang berbasis pada sumber daya lokal dengan semaksimal mungkin mengurangi
ketergantungan terhadap impor pangan. Pentingnya
pemanfaatan sumber daya lokal dalam pembangunan pangan, tentu sudah sama-sama
kita kenali. Pangan, khusus nya "pangan pokok" adalah kebutuhan yang
sangat mendasar bagi kehidupan. Pangan pokok inilah yang mampu menyambung nyawa
kehidupan setiap manusia. Akibatnya, kalau sekarang mulai muncul masalah
"defisit pangan" atau pun "defisit lahan", maka hal
tersebut sangat pantas disebut "lampu kuning" pembangunan pangan.
Untuk itu, agar tidak menjurus menjadi "lampu merah", kesungguhan
dalam mengelola pangan berbasis sumber daya lokal adalah kata kunci yang harus
kita jadikan acuan dalam berkiprah. Berikut ini merupakan persebaran
pangan pokok di daerah Madura
No
|
Macam
umbi-umbian
|
Madura
|
Bangkalan
|
Sampang
|
Pamekasan
|
Sumenep
|
1
|
Ubi
kayu
|
44,38%
|
9,06%
|
11,41%
|
13,13%
|
10,78%
|
2
|
Ubi
jalar
|
21,72%
|
6,72%
|
7,03%
|
4,38%
|
3,59%
|
3
|
Bentul
|
3,91%
|
-
|
0,63%
|
3,28%
|
-
|
4
|
Umbi
|
13,75%
|
5,00%
|
4,22%
|
4,53%
|
-
|
5
|
Ganyong
|
1,41%
|
1,41%
|
-
|
-
|
-
|
6
|
Gadung
|
4,69%
|
3,28%
|
0,94%
|
0,47%
|
-
|
7
|
Garut
|
0,47%
|
0,47%
|
-
|
-
|
-
|
8
|
Suweg
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
9
|
Talas
|
9,69%
|
3,28%
|
0,78%
|
5,16%
|
0,47%
|
Sumber : Peneliti
Fakultas Pertanian Universitas Trunujoyo
Kualitas konsumsi pangan masyarakat di Madura dipantau dengan
menggunakan skor Pola Pangan Harapan (PPH) yang dipengaruhi oleh keragaman dan
keseimbangan konsumsi antar kelompok makanan. Kalau hanya data kelompok pangan
pokok seperti di atas, jelas skor PPH tak bisa dihitung. Harus ada data tentang
kelompok pangan hewani, sayuran & buah, buah/biji berminyak,
kacang-kacangan dan kelompok pangan lain. Madura sebagai daerah otonom memiliki
kewajiban dalam menyelenggarakan urusan ketahanan pangan, salah satunya yaitu
upaya pencapaian SPM bidang penganekaragaman dan keamanan konsumsi pangan.
Indikator SPM tersebut yaitu minimal 90% dari AKE 2000 kkal/kapita/hari dan
skor PPH 100 harus tercapai pada tahun 2015. Hal ini menjadi isu strategis
karena konsumsi pangan penduduk Madura merupakan output pembangunan ketahanan
pangan di daerah Madura. Itu saja
informasi yang ingin saya share
tentang Madura. Suatu saat nanti, saya akan menemukan data itu, bahkan mungkin
bisa jadi yang mengurusi data pangan itu. karena apa? Karena Madura membutuhkan
kita. Harapan kita anak-anak Madura, generasi
penerus tanah garam, adalah terbentuknya Madura yang berdaulat pangan.
Mudah-mudahan para 'pejuang pangan" dapat berdampingan diposisinya
masing-masing. Mulai dari pengambil kebijakan hingga para pelaksana di
lapangan.
Sakinah Ulfiyanti
29 November 2013
Dramaga, Bogor