"Perasaan adalah perasaan, Borno. Orang seperti kau, lebih suka rusuh
dengan perasaan itu sendiri. Rusuh dengan harapan, semoga besok bertemu, semoga
besok ada penjelasan baiknya. Semoga. Semoga. Kau sibuk sendiri, tanpa
menyadari Mei juga sibuk sendiri. Astaga, apa susahnya kau menemui Mei,
bertanya baik-baik. Kalaupun gadis itu menjawab plintat-plintut, tidak jelas
apa maunya, serba peragu, tiba-tiba mundur satu langkah, bahkan menjadi cemas
bertemu kau, itulah sifat perasaan, butuh waktu, butuh proses. Sialnya, kalian
berdua punya karakter naif."
"Sejatinya, rasa suka tidak perlu diumbar, ditulis, apalagi kau
pamer-pamerkan. Semakin sering kau mengatakannya, jangan-jangan dia semakin
hambar, jangan-jangan kita mengatakannya hanya karena untuk menyugesti,
bertanya pada diri sendiri, apa memang sesuka itu."
"Kita hanya bisa berasumsi, tapi asumsi tentang perasaan sama
dengan menebak besok sepitku akan ramai penumpang atau sepi. Serba tidak pasti.
Berasumsi dengan perasaan, sama saja dengan membiarkan hati kau diracuni
harapan baik, padahal boleh jadi kenyataannya tidak seperti itu,
menyakitkan."
"Borno, cinta hanyalah segumpal perasaan dalam hati. Sama halnya
dengan gumpal perasaan senang, gembira, sedih, sama dengan kau suka makan gulai
kepala ikan, suka mesin. Bedanya, kita selama ini terbiasa mengistimewakan
gumpal perasaan yang disebut cinta. Kita beri dia porsi lebih penting, kita
besarkan, terus menggumpal membesar. Coba saja kau cueki, kau lupakan, maka
gumpal cinta itu juga dengan cepat layu seperti kau bosan makan gulai kepala
ikan."
"Percayalah, jika Mei memang cinta sejati kau, mau semenyakitkan
apapun, mau seberapa sulit liku yang harus kalian lalui, dia akan tetap bersama
kau kelak, suatu saat nanti. Langit selalu punya skenario terbaik. Saat itu
belum terjadi, bersabarlah. Isi hari-hari dengan kesempatan baru. Lanjutkan
hidup dengan segenap perasaan riang."
- Pak Tua dalam "Kau, Aku, dan Sepucuk Angpao Merah" [Tere Liye]