Era globalisasi menuntut setiap
negara untuk melakukan pembangunan yang berkesinambungan. Oleh karena itu,
kualitas sumber daya manusia suatu bangsa diperlukan guna terwujudnya keberhasilan
pembangunan. Salah satu faktor yang sangat penting dalam pembentukan kualitas
sumber daya manusia adalah gizi. Palaguna (1999) menyatakan bahwa masalah gizi
akan berdampak negatif pada sumber daya manusia dan perekonomian nasional.
Salah satu masalah gizi yang
masih menjadi masalah kesehatan dunia, khususnya negara-negara berkembang
seperti Indonesia adalah permasalahan kurang energi protein (KEP). Berdasarkan
data Riskesdas (2010), prevalensi balita KEP secara nasional adalah 17,9%
dengan 4,9% diantaranya adalah KEP berat. Propinsi Nusa Tenggara Timur
merupakan salah satu propinsi di Indonesia dengan persentase balita KEP cukup tinggi yaitu mencapai 29,4%, dengan 9% diantaranya
mengalami KEP berat. Balita yang
mengalami KEP berat rentan terkena penyakit infeksi dan beresiko mengalami
kematian (Arisman, 2007). Keterlambatan dalam pemberian pelayanan gizi yang
tepat terhadap balita KEP berat akan meningkatkan resiko kematian dan memicu
kerusakan sel dan jaringan yang permanen, sehingga menjadikan balita tersebut
tumbuh menjadi sumber daya yang cacat.
Berdasarkan standar yang
ditetapkan oleh Depkes (2006), pemberian
diet pada balita KEP berat terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahap stabilisasi
(1-7 hari), tahap transisi (minggu ke 2-3), dan tahap rehabilitasi (minggu ke 3-6).
Pada tahap stabilisasi, balita diberikan ASI dan tambahan makanan cair formula
WHO (F-75 dengan 75 kkal energi). Tahap transisi diberikan ASI dan makanan cair
formula WHO (F-100 dengan 100 kkal energi). Pada tahap rehabilitasi, balita
mulai diberi makanan lumat yang padat gizi disamping pemberian formula WHO
F-100 dan ASI. Formula WHO diberikan secara gratis oleh pemerintah. Sedangkan
pengadaan makanan lumat biasanya dilakukan oleh keluarga balita sendiri.
Keluarga yang memiliki akses rendah terhadap bahan pangan dan mempunyai daya
beli rendah seringkali kesulitan dalam pengadaan makanan lumat tersebut.
Salah satu upaya untuk membantu
penatalaksanaan masalah KEP berat di NTT adalah dengan mengembangkan suatu
produk makanan lumat tinggi energi dan protein. Pengembangan produk tersebut
dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya lokal wilayah agar mudah diakses sekaligus sebagai upaya dalam
peningkatan diversifikasi pangan di wilayah tersebut. Pangan lokal yang
potensial untuk dikembangkan di NTT adalah jagung.
Berdasarkan Badan
Pusat Statistik NTT (2010), produksi jagung di NTT cukup tinggi, yaitu mencapai
521.220 ton pada tahun 2009. Akan tetapi tingkat konsumsi hanya berkisar
164.064 ton (14 %). Hal ini sangat bertolak belakang dengan konsumsi beras yang
mencapai 467.460 ton (82%) padahal produksi beras di NTT hanya 335.236 ton
(defisit beras). Selain itu, jagung merupakan
sumber makanan pokok yang memiliki kandungan energi dan protein lebih tinggi
dibandingkan beras.
Seperti serealia lain, jagung
mempunyai mutu protein rendah. Protein jagung defisien asam amino lisin. Oleh
karena itu, perlu penambahan bahan pangan hewani dengan mutu protein tinggi
pada pangan olahan jagung. Sumber protein hewani yang potensial untuk dikombinasikan
dengan jagung sebagai pangan olahan di NTT adalah belalang kayu (Melanoplus cinereus).
Keberadaan belalang kayu di NTT sangat melimpah, terutama di saat musim tanam
jagung. Sejauh ini, belalang kayu hanya
di anggap sebagai hama oleh para petani di NTT dan pemanfaatanya sebagai
makanan belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, pengkajian potensi BUJANG (Bubur Jagung Belalang Instan)
sebagai alternatif menu diet pada tahap rehabilitasi penderita KEP berat di
Nusa Tenggara Timur penting untuk dilakukan. Diharapkan balita penderita KEP
berat memperoleh makanan lumat yang memiliki kandungan energi dan protein
tinggi serta komposisi asam amino lengkap pada tahap rehabilitasi. Sehingga,
perbaikan berat badan dan status gizi balita akan berjalan lebih cepat.
0 komentar:
Posting Komentar